Model Pemimpin di Sekitar Kita

Preface    
      Sudah sekitar 1 tahun belakangan ini, secara aneh saya mulai tertarik untuk memperhatikan sosok-sosok pemimpin yang ada disekitar saya. Mulai dari Pak Gubernur, Pak Walikota, sampai para bakal calon dan calon-calonnya. Berawal dari sana saya ingin mencoba mengemukakan pengamatan pasif saya. Berbeda dengan studi akademis yang menuliskan seluruh dasar teori, semua hal yang saya tuliskan pada artikel ini adalah murni asumsi pribadi. Alasannya sederhana, yaitu karena saya belum berniat untuk membuat sebuah tulisan ilmiah yang serius. Terlebih pemerintahan ini bukanlah bidang saya seutuhnya, sehingga butuh effort yang sangat besar bagi saya untuk menuliskannya dengan metode ilmiah.

Lets Begin !
      Dulu jauh sebelum Jokowi tampil di pemilu Provinsi DKI Jakarta, saya pernah sekali melihat beliau di sebuah tayangan berita pada stasiun TV nasional. Saat itu saya ingat betul tayangannya menampilkan Jokowi (dulu saya tidak mengingat namanya) yang sedang menjabat sebagai Walikota Solo sedang blusukan sembari menyalami warga-warganya. Satu hal yang saya perhatikan saat itu ialah bahwa segala tindak-tanduk beliau saat itu benar-benar terlihat sangat tulus. Ini yang membuat saya menaruh simpati dan respect kepada beliau, begitupun bapak saya yang saat itu berada disamping saya.
      Setelah beberapa bulan dari sejak saat itu nama beliau mulai ramai dibicarakan seiring dengan pencalonan beliau di Pilkada DKI Jakarta. Sejak pertama kali saya mengetahui berita tersebut, sebetulnya saya sudah menaruh sikap optimis terhadap beliau. Padahal jika saya perhatikan, keyakinan saya ini hanya dikarenakan beberapa alasan yang sangat sederhana, yaitu bahwa saya meyakini beliau adalah orang yang tulus, berbuat (take action), & sederhana. Sederhana sekali, beliau adalah orang yang baik. Seakan-akan tersirat dari tiap gurat wajahnya bahwa dalam pencalonannya beliau tidak menyertakan niat-niat yang tersembunyi. Ya, hanya itu. Dalam benak saya, seakan-akan memang hanya itulah model pemimpin yang pas untuk memimpin Jakarta bahkan mungkin untuk daerah manapun di Indonesia.
      Mulai dari sini, saya meng-asumsikan bahwa secara garis besar model pemimpin yang ada disekitar kita terbagi menjadi dua, yaitu :
  1. Pemimpin Model Baru
  2. Pemimpin Model Lama
      Bagi saya Pilkada Jakarta kemarin benar-benar mengawali era bangkitnya para pemimpin dengan model baru, yaitu para pemimpin yang terlihat berbuat. Lagi-lagi terlihat sederhana, biasanya mereka tidak terlalu memperhatikan penampilan (penampilan ala pejabat, dibaca : pencitraan), mereka tidak suka tampil secara otoriter, tidak terlalu banyak birokrasi, tidak berleha-leha, tidak sok sibuk ga jelas (terlihat sibuk tapi tidak berbuat). Dan bagi saya mereka-mereka inilah sosok-sosok yang saat ini dibutuhkan oleh rakyat. Sosok yang memerintah dengan serius! Dan rakyat pun sudah mulai sadar akan hal itu.
      Apakah model pemimpin seperti ini baru ada pada era sekarang ? Saya rasa tidak! Saya meyakini bahwa orang-orang seperti mereka selau ada di setiap jaman. Hanya saja pada era sebelumnya, konsep mereka tidak laku. Saya malah membayangkan bila pertarungan antara pemimpin model baru dan pemimpin model lama terjadi di era Orde Lama atau Orde Baru, mungkin kemenangan telak berada di tangan sang pemimpin model lama  Bagi saya jawabannya simple saja, bahwa jaman dulu masyarakat lebih suka dengan pemimpin yang bergaya pejabat. Meskipun mereka tahu bahwa si pemimpin model baru memiliki kompetensi yang unggul, namun sepertinya mereka tetap akan condong kepada sosok yang memiliki gaya khas pejabat.
      Beralih ke pemimpin model lama. Bagi saya mereka ialah para pemimpin yang amat sangat mementingkan pencitraan. Mereka sangat senang memajang foto-foto mereka di ruang publik. Bahkan tidak jarang dengan ukuran yang amat sangat besar -_-. Seolah-olah pencitraan ini dilakukan untuk menutupi kinerja-kinerja mereka. Biasanya mereka selalu terlihat otoriter. Alih-alih merangkul rakyat, nampaknya mereka lebih merasa nyaman jika jauh dari rakyat (menutup telinga, pura-pura tidak melihat, tidak mencurahkan kepeduliaan penuh untuk rakyat). Namun di jaman sekarang ini, nampaknya rakyat sudah mulai bosan dengan mereka. Sayang sekali karena rakyat sudah mulai menyadari bahwa mereka hanya pemimpin yang ingin terlihat keren.
      Menyikapi Pilgub Jabar yang berlangsung beberapa bulan yang lalu ternyata cukup menarik juga. Beberapa bulan sebelum digelarnya Pilgub Jabar, jalan-jalan besar di Kota Bandung tiba-tiba terlihat dipenuhi oleh poster-poster dengan ukuran yang amat sangat besar. Rupanya poster-poster tersebut datang dari pemerintah. Pada poster-poster tersebut tertulis beberapa kalimat (mungkin hanya satu kalimat) yang salah satunya kurang lebih berbunyi begini "Pendidikan adalah sarana penting dalam membangun masyarakat yang lebih baik". Lalu pada poster tersebut terlihat foto kegiatan belajar mengajar pada sebuah sekolah dasar. Tidak lupa, pada sisi kanan poster hadir pula Bapak Gubernur Jabar dengan tangannya yang menunjuk ke arah foto KBM tersebut yang seolah-olah menunjukan bahwa "ini loh potret pendidikan jabar kita yang sekarang, keren kan ?". Selain poster tersebut, saya perhatikan ada banyak poster-poster milik pemerintah yang tentunya memiliki tema yang berbeda (selain tema pendidikan) tersebar di jalanan-jalanan besar di Kota Bandung. Namun ada satu kesamaan dari poster pemerintah tersebut. Yaitu kehadiran bapak Gubernur Jabar yang konsisten dengan gesture-nya yang tidak berubah. Hebat sekali, bagaikan kampanye (mejeng) sebelum Pilkada dimulai. Dan lebih hebatnya lagi semua itu gratis karena biaya ditanggung oleh pemerintah!
      Sebagai selingan saja, saya pikir hanya saya saja yang cukup risih dengan kejutan beliau ini, namun ternyata ada teman Facebook saya yang meng-update statusnya dengan kalimat seperti ini : "Urusin tuh kelangkaan gas, bukannya malah mejeng terus" (tulisan aslinya pake bahasa sunda dan agak kasar dengan tujuan untuk menegur). Maklum saat itu seingat saya beberapa daerah di Kota Bandung sedang menghadapai kelangkaan distribusi gas.
      Hal menarik lainnya ialah tentang kemenangan suara Golput pada Pilkada Tersebut. Seperti kita ketahui bahwa jumlah suara Golput pada Pilkada Jabar kemarin mencapai angka 11.823.201 suaraAngka tersebut jauh lebih besar daripada jumlah suara yang dikantongi oleh pasangan Aher-Deddy (pemenang Pilkada) yang hanya mengantongi 6.515.313 suara. Tentunya banyak issue yang menyeruak terkait dengan fenomena ini. Mulai dari teori konspirasi para pengusaha yang telah "menyandra" hak suara para buruh melalui jadwal kerja yang tidak disesuaikan dengan waktu pemilihan hingga teori yang menyebutkan bahwa para calon pemimpin tidak mendapatkan simpati dari masyarakat sehingga masyarakat jadi malas untuk mendatangi TPS. Apapun alasannya saya rasa ini benar-benar temuan yang menarik, yang sudah sepantasnya perlu tindakan yang lebih serius lagi dari pihak yang berwenang (dan berani mungkin).
      Sekarang apakah mungkin bila pemimpin model lama bekerja sama dengan pemimpin model baru (dalam pencalonan, kerjasama bisa berupa menjadi pasangan) ? Entahlah, seharusnya sih akan ada pertentangan dalam batin si pemimpin model baru.
      Apakah politik pencitraan sudah benar-benar padam untuk era saat ini ? Untuk daerah-daerah besar, bisa dibilang iya! Namun masih ada alternatif lain sebetulnya. Sosok yang terlihat bijaksana, jujur, dan amanah bisa tampil dalam sosok yang sering kita lihat sehari-hari. Hal-hal tersebut bisa nampak dari hasil kreasi mereka, atau bahkan dari gesture dan ekspresi wajah mereka. Nah, bila sosok seperti ini yang sehari-harinya tidak erat dengan kepemimpinan (tidak berlatarbelakang pemerintahan, sehingga masyarakat hanya menduga-duga saja bahwa beliau mungkin akan cukup baik. bidang entertaiment mungkin ?), ditemukan oleh sang pemimpin model lama dan mereka berdua sepakat untuk bekerja sama, saya rasa ini akan sangat amat membantu bagi para pemimpin model lama.
      Namun sosok yang menyelamatkan para pemimpin model lama tersebut haruslah cukup populer  dan terlihat menjanjikan di kalangan masyarakat. Menurut saya, sulit sekali rasanya menemukan sosok seperti ini, namun rupanya ada dan ditemukan. :)
      Beralih ke Pilwakot Bandung yang sedang gencar-gencarnya memenuhi ruang-ruang publik di Kota Bandung denga poster-posternya. Bagi saya pada Pilwakot kali ini pun rupanya ada pertempuran antara pemimpin model baru dan pemimpin model lama. Pencitraan pun sudah mulai lebih bervariasi. Namun akankah pemimpin model baru berjaya di ajang kali ini mengingat sepak terjangnya (his actions) tidak begitu menyeruak seheboh Jokowi saat menjabat menjadi Wali Kota Solo ? Dan keliahatannya beliau belum se-fenomenal Jokowi yang mampu diterima dan meresap pada tiap unsur dan lapisan masyarakat. Tapi setidaknya saya yakin bahwa masyarakat Kota Bandung pun sudah mulai banyak memahami tentang politik pencitraan yang seringkali menipu. Dan semoga kita semua sudah cukup kapok untuk ditipu. ;)


Bagi Anda yang sedikit berputus asa dengan model pemimpin yang baik, semoga artikel berikut ini dapat sedikit mengurangi kekhawatiran kita : http://adesmurf.wordpress.com/2013/05/28/ga-229-soc-cgk/ ;)

Komentar