Penghujung Bulan Cinta


Bila malam ini adalah 20 Safar, maka tepat satu tahun yang lalu di jam yang sama yakni pukul 01.00 dini hari adalah perjumpaanku yang pertama dengan kekasih hati para pecinta, cinta dari setiap pecinta, harapan setiap pecinta, manifestasi tertinggi cinta.
Malam itu aku dibangunkan dalam tidurku di dalam tenda cinta. Rombongan sedianya telah dibagi-bagi menjadi rombongan kecil dengan jadwal bergantian untuk berjumpa dengan kekasih hati. Pemberangkatan pertama bukan untuk rombonganku, namun rencana berubah. Siapa saja yang hendak ikut, boleh berangkat. Rasa kantuk teramat sangat, rasa rindu terlalu berat, penyesalan dikemudian hari takkan terbayar, manakala panggilan cinta tak ku jawab.
Aku bangkit, bersiap bersama beberapa orang membentuk kelompok cinta untuk berjumpa dengan sang cinta. Mungkin pada kelompok pertama ini ada sekitar 30 orang pecinta. Kami pun memulai perjalanan dibalik dinginnya malam sahara. Dipandu oleh seorang Sayyid yang gesit dan putranya, Sayyid Ahmad mungkin baru berusia 7 tahunan. Kami memagari kelompok kami dengan tali kain, agar tidak terberai dilautan pecinta.
Sepanjang perjalanan para Sayyid menuntun kami melewati gang-gang cinta, waktu telah melewati tengah malam namun masih penuh dengan keramaian para pecinta. Kami lantunkan juga kedatangan kami kepada sang cinta. Labbaika Yaa Husein. Labbaika Yaa 'Abbas. Labbaiki Yaa Zainab. Labbaika Yaa 'Ali. Labbaiki Yaa Zahra.
Perjalanan telah tiba pada pos-pos keamanan istana cinta. Semua rombongan harus memasuki pos-pos sempit, tali pengikat rombongan kami pun mesti segera dilepas. Sang Sayyid begitu gesit kesana kemari menjaga kelompok kami agar tetap utuh diantara sesaknya para pecinta. Pos berhasil dilewati, bendera kami harus dilepas dari tiangnya. Tiangpun berhasil dipendekan.
Rombongan terus melaju diantara jutaan para pecinta, kami susuri pagar istana cinta. Sang sayyid tak lagi mampu untuk membawa kami masuk lebih jauh ke istana cinta. Malam ini adalah malam di penghujung bulan cinta. Para pecinta begitu sesak memenuhi pelataran hingga ke dalam istana cinta. Hingga kami hanya bisa berjalan menyusuri pagar istana cinta, menyampaikan cinta kami kepada sang maha cinta dari kejauhan. Hati teringat pada belahan cinta lainnya, ia yang pada malam ini paling hancur hatinya. Assalamu'alaika Yaa Shohibuzzaman. Hati tak kuasa menahan gejolak di dada. Yaa Shohibuzzaman, engkau saat ini berada di salah satu sudut istana, tenggelam dalam duka laramu, izinkan kami berduka bersamamu, demi sang cinta, demi permata cintamu.
Jalan sudah memutar, kini kami berjalan membelakangi istana cinta. Yaa Shohibuzzaman, isak tangisku tak terbendung. Salah satu amir ziarah dari rombongan kami mengelus punggungku. Aku tertunduk tak mampu menatap tegak, tak perlu rasanya ku pandang sekitar sedang yang ku cari meliputi sanubari. Hatiku hancur dipelataran istana cinta, duhai yang paling berduka.. duhai pemilik zaman.. tak kuasa ku bayangkan hancurnya hatimu.. hancurnya hati datuk-datukmu. Aromamu duhai Imamku, masih terasa hingga kini. Maafkan aku yang lelap dalam kefanaan ini.
Terbayang semua yang kulalui dalam 3 hari terakhir perjalanan cinta. Terbayang wajah-wajah para pecinta yang kutemui dalam perjalanan. Terbayang akan percakapan kami, kini terbayang semua fragmen-fragmen cinta itu sebagai jamuan dari sang cinta. Yaa Aba Abdillah, engkaulah sebaik-baik penjamu para tamu.
Duhai kekasih-kekasihku sungguh engkau telah berkhidmat pada tuan teramat agung, tuan sebaik-baik pembalas syafaat di hari akhir. Wajah lusuh putra-putramu yang melayani tamu tuan, semoga menjadi pelipur laramu di dunia. Kulihat kekuatan dan karakter dalam diri-diri anak-anakmu, semoga kelak menjadi generasi cinta yang kan membangun negerimu yang diluluhlantahkan perang tak berkesudahan. Terimakasih duhai kekasih-kekasihku.
Rombongan kembali menuju mawukib cinta, tenda cinta, kembali melalui gang-gang cinta, kembali disambut oleh para pecinta, kali ini kami singgah, meminum chai iraqi atau chai irani, yaitu teh-teh cinta. Menghangatkan udara dingin sahara cinta. Kami singgah ke pemukiman-pemukiman cinta untuk sekedar berseka. Kami berbincang dalam kehangatan jamuan cinta. Setiba di mawukib cinta, kami kembali terlelap dalam dekap hangat cinta. Duhai negeri cinta, disanalah engkau rupanya. Andai semua bisa merasakannya, tentulah dunia  penuh dengan cinta. Wahai maulaku, terimalah cintaku.
Jakarta, 01 November 2018 01.10





Komentar