Gerbong Memori



Sebuah ingatan dari era 90an.

Era saat aku sering keretaan sama Bapak. Limbangan-Bandung rutenya. Aku ingat, itu tahun 98.

Gerbong ini membawa muatan memori. Memori indah hari-hari usia dini. Kelas satu SD bangkunya, 5 tahun usianya. Dulu aku masih jadi pemberani, tak takut oleh dunia. Pandangannya tajam, pemikirannya jernih belum tercemari. Dalam benakku, hanya sayang ibu & bapak, takut kalau mereka tidak ada.

Gerbong kereta menjadi saksi. Saksi bahwa aku dulu sangat suka kereta api. Kami tinggal di desa, sedang Bapak menjemput rezeki di kota. Kereta api yang jadi penghubungnya, aku jadi temannya. Teman Bapak jalan kaki. Kami sering jalan kaki di kota. Kesana kemari mengantar dan mengukur baju pesanan. Langganannya tidak lain teman dan kerabatnya sendiri.

"Doktrin" Bapak: kalau aku besar, aku akan kerja di bidang IT karena temannya banyak yang punya kantor IT. Sekarang tahun ke 8 aku bekerja di kantor IT-nya teman Bapak. What a miracle.

Aku dulu jalannya cepat, karena bapak begitu. Aku dulu tegas, karena bapak begitu. Aku dulu bertanya dengan kritis, karena bapak begitu. Aku dulu sulit diatur, cukup. 😅

Antara perkampungan kami dengan  jalan provinsi dipisahkan kebun bambu sepanjang 600 m. Penghubungnya adalah jalan tanah lebar 3 meter. Tanpa penerangan. Aku dan bapak sering kemalaman di jalan. Dulu, aku belum paham tingkat kemalaman. Jam 21.00 atau jam 01.00 tak ada bedanya. Dulu keduanya ku sebut malam saja.

Suatu kali kami tiba di desa malam hari. Aku ingat, saat itu tidak naik kereta api tapi ikut mobil saudara ibu dari Bandung ke Jawa. Mobilnya Espass. Seperti biasa kami turun di jalan provinsi. Bapak menolak tawaran layanan door to door. Lagi-lagi, kami jalan lagi 600 m tanpa penerangan. Sepanjang kebun bambu suara burung hantu sahut-bersahut menemani. Aku tak bisa melihat apapun. Hitam gelap di kegelapan malam di tengah kebun bambu. Ada juga bagian jalan yang berdampingan dengan pemakaman. Pikirku saat itu, bapak sudah dewasa jadi matanya lebih tajam untuk melihat jalanan. Tahun lalu baru ku tau, Bapak pun tak lihat apapun. Sering sekali aku minta digendong kalau pulang malam. Tapi jarang sekali diiyakan. Sesampainya di rumah, semua sudah tidur, ibu yang membukakan pintu. Saat itu aku bertekad untuk mengingat jam kedatangan kami. Supaya setelah dewasa aku paham seberapa malam saat itu. Aku masih ingat, tepat jam 11 malam.

Di kampung, aku main di bukit, di sungai, di sawah, di kebun. Hari Minggu jadwal untuk cuci sepatu bareng teman di mesjid dan nonton TV di kampung sebelah. Di kampung dulu ada home industry sistik. Kadang kalau kami main kesana bantu bungkus sistik. Bayarannya ngemil sistik gratis. Pernah juga keliling kampung jual bonsai bekas dengan teman. Dasar anak kampung. 😅

Akhir caturwulan 3 aku baru bisa membaca. Itupun dieja. Bangga sekali rasanya. Karena teman lainnya belum pada bisa. Awal kelas 2 aku, bapak, ibu & 4 orang adikku kembali tinggal di kota. Satu tahun tinggal di kampung berjuta rasanya. Manis seperti aromanis yang bisa ditukar dengan botol bekas. Wangi seperti wangi alang-alang. Sunyi seperti sungai dibalik bukit. Pedas seperti cengek Wa Eha yang ku makan mentah. Renyah seperti sistik yang gratis.

KA Serayu, Jakarta-Bandung, 21 Juni 2019 22.00-23.00

Hasan & Sasa di jalan ke Cihanja



Komentar