Menyelami Rindu (1)

Petang kemarin aku dan istri menembus hujan menuju asrama Hasan di Cimuncang. Karena hujan cukup deras kami memutuskan melipir dahulu. Sambil menunggu hujan kami melakukan ritual pilih-pilih mobil. Kebiasaan kami dijalan raya yaitu memilih-milih mobil yang lalu lalang, mana yang bagus untuk kami beli nanti. Tidak seserius itu sebetulnya, kami lebih sering bercandanya.

Setelah hujan mulai reda kami lanjutkan lagi perjalanannya. Jalan mulai banjir dibeberapa ruas. Setiba di daerah Cimuncang, beberapa jalan masih tergenang banjir. Disana kami berjumpa dengan seorang ibu dan anaknya, mungkin masih SD. Ibunya terlihat mengais karung pertanda ia sedang mengais rezeki dari mengumpulkan sisa-sisa botol plastik.

Sang anak nampaknya tidak berani menyebrangi ruas jalan yang banjir dan meminta untuk digendong ibunya. Disaat seperti itu ku lihat sang ibu masih menyempatkan untuk memungut botol bekas yang mengambang dihadapannya sebelum akhirnya menggendong sang anak menyebrangi banjir. Kemudian mereka berlalu begitu saja dalam kegelapan tanpa menyisakan keluh kesah dalam raut wajah.

Tuhan betapa aku malu. Peluhku tak sebanding dengan mereka, namun keluhku tak pernah luput tiap harinya. Padahal upahku sudah lebih dari sekedar cukup, sedang mereka masih harus berjuang hingga larut.

Seolah Kau sampaikan kehadapan ku seluruh arti kata syukur dalam satu fragmen saja. Seolah kau sadarkan alam pikiranku yang dipenuhi angan duniawi dalam satu kedipan saja. Seolah Kau hidupkan sanubari yang terlelap oleh gemerlap dunia dengan sekali tiupan saja.

Duhai Tuhanku.. Kini ku hirup lagi wewangian dari masa kecilku. Saat keluarga kami hidup dalam kesederhaan dan aku tak dibuai angan-angan. Dengan ayah ibu yang penuh kasih sayang dan saudara-saudara yang riang. Kini aku paham, mengapa beberapa orang yang lebih dari berkecukupan memilih hidup dengan kesederhanaan. Karena Engkau yang Maha Adil tak akan mensyaratkan materi untuk meraih kebahagiaan.

(.. bersambung) 

Komentar